Rektor UIN KHAS Jember Paparkan Isu Strategis PTKIN dalam Rapat Dengar Pendapat Bersama Komisi VIII DPR RI
Humas - Di tengah dinamika dunia pendidikan yang bergerak cepat, Rektor UIN Kiai Haji Achmad Siddiq Jember, Prof. Dr. H. Hepni, S.Ag., M.M., CPEM, hadir dan menyampaikan paparan komprehensif dalam Rapat Dengar Pendapat (RDP) bersama Komisi VIII DPR RI, Senin malam, 10 November 2025. Rapat yang berlangsung di Ruang Komisi VIII Gedung Nusantara II, Jakarta, ini menjadi ruang strategis bagi para rektor PTKIN untuk menyampaikan persoalan, tantangan, serta arah kebijakan pendidikan tinggi keagamaan Islam.
RDP tersebut merupakan tindak lanjut dari agenda resmi Masa Persidangan II Tahun Sidang 2025–2026, yang diputuskan dalam Rapat Konsultasi antara Pimpinan DPR RI dan Pimpinan Fraksi pada 25 Agustus 2025, serta diperkuat oleh keputusan Rapat Internal Komisi VIII DPR RI pada 4 November 2025. Pembahasan malam itu menyoroti dua isu besar: tata kelola dan dinamika pendidikan PTKIN, serta isu-isu aktual nasional.
Dalam paparannya, Prof. Hepni menekankan bahwa perguruan tinggi saat ini berada di persimpangan besar akibat disrupsi digital, kemajuan kecerdasan buatan (AI), dan transformasi industri 5.0. Kompetisi global, menurutnya, menuntut kampus-kampus mempercepat inovasi, membangun jejaring internasional, serta mengintegrasikan nilai spiritualitas ke dalam sains modern.
“PTKI tidak bisa lagi berdiam sebagai teaching university. Ia harus bergerak menjadi research and innovation university,” tegasnya.
Di tingkat nasional, agenda Indonesia Emas 2045 menuntut SDM unggul yang mampu bersaing secara global. Namun, ketimpangan kualitas antarperguruan tinggi, serta asimetri kebijakan antara PTKIN dan PTN umum, masih menjadi hambatan besar. Sinkronisasi lintas kementerian—yakni Kemenag, Kemenpan RB, hingga Kemenkeu—menjadi kebutuhan mendesak.
Rektor UIN KHAS Jember menggambarkan PTKIN sebagai pilar pendidikan Islam moderat yang tetap menghadapi sejumlah kendala krusial seperti keterbatasan sarana, lemahnya digitalisasi, ketimpangan fasilitas antara PTKIN besar dan PTKIN baru, serta meningkatnya ekspektasi publik terhadap kualitas lulusan.
Dalam konteks itu, Prof. Hepni memaparkan delapan isu strategis yang perlu mendapat perhatian nasional:
1. Regulasi penerimaan mahasiswa baru, terutama dominasi PTN-BH yang mengurangi peluang PTKIN mendapatkan calon mahasiswa unggul.
2. SDM dan internasionalisasi, mulai dari kejelasan status tenaga honorer hingga penguatan jejaring global melalui double degree, joint research, dan visiting professor.
3. Pendanaan riset, yang masih tertinggal jauh dari kampus umum.
4. Sarana prasarana, termasuk fasilitas kemahasiswaan dan ruang inovasi.
5. Regulasi & akreditasi, yang dinilai terlalu sering berubah dan memberatkan.
6. Good governance & digitalisasi, yang belum merata di seluruh PTKIN.
7. Kurikulum global, yang harus responsif terhadap isu AI, ekoteologi, gender, hingga moderasi beragama.
8. Employability & endowment fund, termasuk pentingnya keterhubungan pendidikan vokasional dengan industri.
Pada sesi rekomendasi, Prof. Hepni menambahkan satu isu yang ia nilai sangat mendesak dan berpengaruh langsung pada mutu SDM PTKIN: ketidakjelasan regulasi terkait PPPK, khususnya dosen PPPK yang mengalami stagnasi karir karena absennya jalur kenaikan jabatan dan jenjang kepangkatan yang setara dengan dosen PNS.
Ia menegaskan bahwa ketidakpastian regulatif ini menghambat produktivitas akademik dan mengurangi daya saing PTKIN dalam menarik dosen-dosen terbaik. Karena itu, ia mendorong Komisi VIII DPR RI dan kementerian terkait untuk segera merumuskan:
1. Skema karir yang jelas bagi dosen PPPK, termasuk jalur kenaikan pangkat dan jabatan fungsional.
2. Harmonisasi aturan antara Kemenag, Kemenpan-RB, dan BKN agar tidak terjadi tumpang tindih atau kekosongan kebijakan.
3. Kebijakan afirmatif bagi PTKIN untuk mendukung stabilitas SDM akademik, terutama dalam konteks internasionalisasi dan kompetisi global.
Selain isu PPPK, rekomendasi strategis lainnya meliputi kebijakan afirmatif penerimaan mahasiswa dan riset, penguatan digital governance, reformasi sistem riset dan PKM berbasis kolaborasi, hingga peningkatan kapasitas internasionalisasi melalui jejaring global.
Ia menutup paparannya dengan sebuah penegasan bernada reflektif: “PTKI bukan hanya benteng moderasi beragama, tetapi juga laboratorium peradaban yang menyiapkan generasi berilmu, berakhlak, dan berdaya saing global.”
Keikutsertaan Rektor UIN KHAS Jember dalam forum tersebut bukan hanya membawa suara kampusnya sendiri, tetapi juga memperkuat posisi PTKIN sebagai kekuatan strategis dalam pembangunan SDM nasional. Melalui kepemimpinan Prof. Hepni, UIN KHAS Jember menegaskan komitmennya, yakni dari kampus inklusif menuju universitas unggul bertaraf internasional.
Penulis: Atiyatul Mawaddah
Editor: Munirotun Naimah


.jpg)

